akhir penantian panjang



Akhir Penantian Panjang

Mentari pagi bersinar mengusir gelapnya malam. Terdengar sahutan penghuni hutan dan gerakkan angin sepoi-sepoi yang menambah keindahan pagi ini. Namaku Albert, aku tinggal di sebuah desa yang sangat kecil yang dikelilingi oleh hutan.
Aku melakukan kegiatan seperti biasanya, seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah sampai mencari kayu bakar untuk menyambung hidup. Aku melakukan itu semua karena ayahku telah cukup lama meninggalkan ibu dan aku setelah menimpa musibah saat bekerja di sebuah perusahaan pertambangan. Sedangkan ibuku hanya bisa berbaring akibat depresi berat setelah ditinggal oleh ayah.
Umurku memang sudah 13 tahun, tapi aku belum mendapatkan hakku untuk menuntut ilmu akibat terbatasnya biaya dan tidak adanya sekolah di desaku. Sementara jarak antara kota dan desaku sangat jauh.
Menjelang sore aku tidur disamping ibu, lalu aku bercerita kepadanya tentang cita-citaku, beliau sangat bahagia atas ceritaku, itu terlihat saat beliau tersenyum sipu kepadaku. Aku pun berbicara panjang lebar. Dengan terbata-bata beliau berbicara kepadaku bahwa aku mempunyai paman yang bernama paman Charlie, ia tinggal di kota. Diberikannya sebuah foto kenangan waktu paman beserta ibuku diwaktu ramaja. Beliau berkata mungkin dengan keberadaan paman aku bisa meenuhi semua cita-citaku. Dengan cepat aku masukkan foto ini ke dalam saku celanaku.
Mentari telah kembali ke peraduan membuat malam datang membius semua mahkluk hidup atas kesunyiannya. Terdengar adzan dari sebuah masjid satu-satunya di desaku, walaupun suara itu tidak terdengar keras karena letakknya cukup jauh dari rumahku.
Seperti biasanya, aku tinggal ibu sendirian di rumah untuk pergi sebentar ke masjid tersebut untuk melakukkan ibadah dan mengaji.
Dalam perjalanan aku melihat adik temanku Samuel sedang bermain api. Tapi olehnya, adiknya dibiarkan karena menurutnya ada ibunya yang mengawasi ia. Kami berdua menuju masjid bersama-sama.
Hiruk pikuk terdengar di desa, aku melihat gumpalan asap mengepul di wilayah sekitar rumahku. “Ada kebakaran,” sahut Samuel. Aku dan ia bergegas menuju tempat tersebut. Hatiku terpana saat melihat bahwa rumah Samuel terbakar begitu juga rumahku. Tersayat-sayat hatiku saat mendengar bahwa tidak ada yang dapat menolong ibuku saat kejadiaan. Dan ow…! beliau telah dipanggil oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Semua rumahku telah rata dengan tanah begitu juga barang-barang mengingat rumahku hanya berbilik bambu dan beratap jerami.
Samuel sangat terpukul atas kejadian ini, apabila ia tidak membiarkan adiknya bermain api mungkin semua ini tidak akan terjadi, untungnya seluruh anggota keluarganya selamat. Si jago merah telah melalap hampir setengah rumah yang ada di desa ini.
Sekarang Aku hanya sebatang kara, yang tertinggal hanya baju ini dan sebuah foto dalam saku. Aku mendapat tawaran untuk hidup dengan Samuel tapi pikirku lebih baik aku hidup sendiri dari pada akan menyusahkan orang lain. Malam harinya aku beserta para korban tidur di masjid.
Mentari pagi bersinar kembali dan aku memulai kehidupan baruku dan aku telah membulatkan tekad untuk pergi ke kota untuk mencari pamanku. Setelah sarapan aku berpamitan kepada warga kampung dan minta maaf serta meminta doa restu agar aku dapat bertemu dengan pamanku dan dapat bersekolah. Sebelum aku memulai perjalananku aku diberi uang oleh kepala desa dan beberapa bekal dari warga lain. Bagiku sangat senang bisa hidup bersama mereka semua walaupun takdir harus memisahkan kita, tak lupa aku berharap semoga semua warga disini tetap dalam keadaan sehat walafiat sehingga apabila ada kesempatan aku bisa berkumpul dengan mereka…”Amien”.
Aku telusuri hutan yang sangat lebat ini. Perlahan langhkahku mulai bergerak meninggalkan kampung terindah yang pernah aku tinggali. Di tengah hutan aku berjumpa dengan para penebang pohon. Aku sapa mereka. “Hai!,” “Hai juga nak!” jawab orang tua itu. “Mau kemana nak? awas banyak binatang buas!” katanya. “Ya pak terima kasih, saya mau ke kota pak!” jawabku. “Ow..aku juga mau ke kota untuk menyetorkan kayu ini,” jawabnya. “Kalau begitu apakah saya boleh numpang?” tanyaku. “Boleh nak tapi kamu hanya bisa duduk di belakang sama kayu-kayu ini,” jawabnya. “Tidak masalah pak, dimanapun aku mau asalkan bisa pergi ke kota,” jawabku. “Ayo nak, mari kita berangkat!” terangnya.
Perjalanan berlangsung sangat lama hampir satu hari satu malam. “Nak sudah sampai, hanya sampai sini saya bisa bantu!” terangnya. “Tidak masalah terima kasih banyak atas tumpangannya!,” lanjutku.
Kami pun berpisah. Aku berjalan menyusuri trotoar. “Begitu besarnya bangunan itu!,” kataku dalam hati. Terlihat lalu lalang orang dalam melakukan segala aktifitasnya. “Wah pagi-pagi sudah ramai,” gerutuku. Tapi kemana langkah kaki ini harus berpijak untuk mencari paman Charlie. Kota ini sangat besar.
Perutku sudah mulai keroncongan, aku merogoh saku celanaku, aku temukan selembar uang pemberian kepala desa, bagiku cukup untuk membeli makanan untuk 1 hari. Ketika hendak membeli makanan terlihat orang yang datang menghampiriku. “Wah kelihatan capek dek!” tanyanya. Aku tidak mengenal orang ini sama sekali, langsung saja aku balas, “Ya mas, eh mas di mana letak penjual nasi yang murah?,” tanyaku. “Ow..di situ dek, tidak terlalu jauh, apa mau saya belikan, adik tunggu disini aja, istirahat dulu,” terangnya. “Ini mas, tolong belikan 1 bungkus, saya tunggu disini!,” jawabku. Tanpa berfikir banyak aku memberikan uangku satu-satunya kepadanya.
Ia pun pergi. Saya telah menunggu lama tetapi ia belum kembali. Lalu aku bertanya kepada tukang becak apakah membeli makanan sangat lama di kota. Menurut beliau tidak terlalu lama, ia menasehati agar tidak mudah percaya oleh orang lain karena di kota ini banyak penipu. Wah aku tertipu, sekarang aku tidak bisa makan. Tubuhku semakin melemah di himpitan kekejaman kota. Pandangan mataku pun mulai kabur. Oughh…sebuah hantaman keras dari kendaraan yang melaju sangat kencang, sampai-sampai aku harus tak sadarkan diri.
Ketika aku sadar, aku berada di sebuah ruangan yang bersih dengan cairan infus mengalir ke tanganku. Seorang laki-laki gagah datang bersama laki-laki muda yang lecet mukanya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya orang itu. “Alhamdulillah agak mendingan,” jawabku. “Maafkan putra saya ia memacu kendaraannya terlalu cepat,” terangnya. “Tidak apa-apa aku juga salah tidak berhati-hati,” balasku. “Nama kamu siapa?, alamatnya mana?” ia bertanya. “Nama saya Albert anak Desa Wembles,” jawabku. “Wah jauh amat, ke kota mau kemana?,” terangnya. “Mau mencari paman saya, paman Charlie,” jawabku. Dengan serius beliau memendangiku, lalu aku meminta tolong apakah ia mengetahui orang yang sedang aku cari. Aku serahkan foto yang ada di saku celanaku kepadanya.
Tiba-tiba pria itu memelukku. “Aku orang yang kamu cari ini, aku mulai ingat saat kamu menyebut namamu, aku teringat dengan putra kakakku,” terangnya. “Ada apa sebenarnya pa?,” tanya laki-laki kepada ayahnya. “Ini sepupumu yang selama ini kita cari,” lanjutnya.
Kebahagiaan menerpaku aku sangat bahagia bisa bertemu dengan pamanku. Lalu aku bercerita panjang tentang keadaan aku, keluarga, dan warga masyarakat selama berada di desa itu. Setelah keluar dari rumah sakit, aku tinggal bersama paman dan keluarganya. Otomatis aku mempunyai keluarga baru. Dan yang telah lama aku dambakan akhirnya terwujud. Sebuah sekolah negeri tempatku memulai meraih semua cita-citaku...

0 Komentar