mereka adikku




mereka adikku

Halo, namaku Mela. Aku anak pertama dari empat bersaudara, aku punya dua adik laki-laki dan satu adik perempuan. Umurku baru empat belas tahun dan sekarang aku masih duduk di kelas sepuluh SMA di sekolah favorit di tempat tinggalku. Umurku yang masih 14 tahun ini sudah termasuk umur remaja yang gencar-gencarnya mencari jati diri. Ya.. aku sekarang ini memasuki masa puber, masa di mana anak seumuranku masih rentan dengan “dunia luar”. Untungnya, orang tuaku perhatian sekali denganku, mereka sudah mulai memberikan kepercayaan kepadaku, apa saja kepercayaan itu?? Macam-macam, kepercayaan untuk bisa mengatur waktu, memilih sesuatu, termasuk dalam mencari jati diriku. Namun, biar orang tuaku sudah memberi kepercayaan, aku masih saja bersifat seperti anak kecil.
Kepercayaan orang tuaku yang diberikan padaku lainnya adalah bisa menjadi teladan bagi adik-adikku. Nah, bukannya aku tidak mau melaksanakan tugas tersebut hanya saja aku tidak tahu harus menjadi teladan yang bagaimana bagi adik-adikku. Dan adik-adikku itu bisa menghargai aku atau tidak.
Adikku yang pertama bernama Hendri, ia anak yang kuat, pintar. Sayangnya, meskipun dia sudah SMP, dia masih belum bisa mandiri, mengalah dengan adiknya yang lain, tidak bisa hormat dengan orang tua, terlalu mementingkan temannya. Pernah aku dioloknya sampai mamaku menangis.
Adikku yang kedua bernama Billy, anak yang cerdas, lucu, tapi dia terlalu manja. Billy suka menang sendiri, kalau ada kemauan yang tidak dituruti, maka ia akan marah-marah, memukuli aku, adiknya, siapa saja yang ada di dekatnya.
Adikku yang terakhir bernama Lili, dia adik perempuanku satu-satunya. Jarak umurku dengannya cukup jauh, yaitu 12 tahun. Biarpun masih keccil, Lili pintar sekali “mengoceh”, terkadang aku sampai jengkel dengannya gara-gara dia pintar berakting. Ya, biarpun masih berumur 3 tahun, dia pintar sekali untuk mengeluarkan air mata untuk merebut hati papa dan mama.
Terkadang papaku sampai curhat kepadaku tentang adik-adikku, papa takut adik-adikku tidak bisa akur apalagi mengingat waktuku untuk tinggal serumah dengan keluarga tinggal dua tahun lagi.
“Me, sebenernya adikmu itu harus diapakan ya?? Tiap hari nggak ada waktu tanpa ribut, entah gara-gara makanan, mainan, bantal, guling. Haduh!!”, kata papaku sambil geleng-geleng kepala.
“Ya, dibimbing semampu kita pa. Lagipula kan wajar kalau mereka sering rebut, mereka kan masih kecil-kecil.”, jawabku menenangkan hati papa.
“Masih kecil?? Kamu tahu berapa umur Hendri? 12 tahun Me, dan dia belum bisa mengalah sama adiknya.”, bentak papa.
Aku hanya bisa diam saja, aku tahu papa beban mental melihat tingkah adik-adikku tiap harinya. Satu hari tak ada yang dilewati dengan rukun, bertengkar terus. Aku sampai bosan di rumah gara-gara mereka.
Suatu hari, Hendri terlihat sumringah. “Kamu kenapa Hen??”, tanyaku. “Itu ce, aku mau tanding basket di Grogol minggu depan dan aku dijadikan pemain inti.”, katanya.
“Wah, hebat ya! Cece aja belum bisa jadi pemain inti, kamu malah udah dipercaya jadi pemain inti, tanding lagi.”, kataku bangga. Tiba-tiba mamaku datang, “Kamu naik apa ke Grogol??”, tanya mama.
“Aku boncengan sama temenku ma.”, jawab Hendri riang. “Nggak! Kamu nggak boleh ikut! Kamu tahu, anak seumuranmu itu belum bisa naik sepeda motor dengan baik, pakai boncenggan segala! Pokok mama nggak izinkan kamu tanding kalau kamu boncengan sama temenmu!”, kata mama dengan nada amarah.
“Tapi ma, kalau aku pengin tanding!”, rayu Hendri. “Nggak! Sekali mama bilang nggak ya nggak!”, bentak mama. Hendri langsung menuju kamarnya. Aku tahu, dia pasti kecewa sekali sama mama, tapi benar juga kata-kata mama, temennya Hendri itu belum bisa benar naik sepeda motor, apalagi membonceng temannya. Aku berusaha menghibur Hendri, “Kamu naik angkutan umum aja, nanti tanya sama pelatihmu turun di mana biar bisa barengan.”, kataku menghibur Hendri. Hendri diam saja tidak menjawab. Aku sudah hapal sikap Hendri, kalau dia sedang marah dia akan diam saja atau malah marah-marah, dan untuk kali ini dia hanya diam saja.
Aku menghampiri mama yang sedang ada di dapur, “Ma, Hendri diizinkan aja ikut tanding. Kasihan lho, dia udah latihan keras e malah nggak boleh ikut tanding.”, kataku dengan nada merayu.
“Fuhh.. Gini Me, bukannya mama ngelarang Hendri ikut tanding. Mama Cuma nggak mau Hendri itu dibonceng sama temennya, kamu kan tahu sendiri, temennya Hendri itu sok jadi pembalap semua.”, kata mama.
“Ya aku tahu, tapi Hendri diizinkan ikut tanding aja ma. Masalah transport nanti dibahas sama papa aja.”, kataku. Mama mengangguk pelan. Perasaan mama pasti was-was kalau Hendri dibonceng sama temennya,, yah maklumlah, ibu.
Esoknya, mama mengajak papa dan Hendri rundingan. Aku sengaja tidak ikut dalam rapat keluarga, aku ingin melihat sikap Hendri dalam situasi ini.
“Hen, gini ya mama nggak larang kamu tanding, tapi mama nggak mau kamu itu pulang perginya dibonceng sama temenmu. Temen-temenmu itu belum seratus persen bisa naik sepeda motor!”, terang mama. Hendri Cuma diam, dia menunduk dan menunduk. Aku nggak tahu apa yang dipikirkannya, dia mengerti atau tidak aku juga nggak tahu.
Tiba-tiba saja Hendri mengangkat mukanya dan langsung angkat bicara, “Lha aku naik apa?? Angkot?? Kan nggak bisa bareng sama temen-temen??”, rengek Hendri. “Lha maumu apa?? Bareng temenmu? Kamu bisa jamin keselamatanmu sendiri kalau kamu dibonceng temenmu? Nggak kan! Kapan hari kamu barusan bilang kalau salah satu temanmu kecelakaan dan sekarang keadaannya parah, kamu mau kayak dia?? Nggak kan!!”, mama sudah mulai marah. Aduh.. Hendri sih pakai ngelawan segala. “Udah, udah!! Pokoknya papa sama mama nggak mengizinkan kamu tanding kalau kamu boncengan sama temanmu! Bahaya!!”, bentak papa. Kulihat wajah Hendri merah padam menahan marah, Hendri langsung pergi begitu saja meninggalkan papa dan mama.
Tiba-tiba Billy dan Hendri bertengkar saling pukul, saling gigit. Aku kaget setengah mati, aku nggak tahu apa yang bisa aku lakuin buat melerai mereka. “Heh!!! Sudah, sudah.. Ada apa ini?? Kok bertengkar?”, Budeku yang mencoba melerai mereka. “Koko duluan de yang ganggu aku, aku dari tadi diam kok.”, kata Billy membela diri.
“Nggak! Billy duluan, dia ngolok-ngolok aku lho!”, sergah Hendri. Papaku langsung mendatangi mereka berdua dan memukuli mereka satu persatu. Aku nggak tahan melihat mereka dipukuli, biarpun pukulan papa bagiku dan adik-adikku sudah biasa bahkan dari kecil seperti makanan, aku tetap saja nggak tahan melihat adikku dipukuli seperti itu.
Badan Hendri dan Billy merah-merah bekas pukulan papa. Bagi mereka pukulan itu masih ringan daripada dipukul papa pakai kemoceng. “Enak?? Makanya nggak usah cari masalah kalau papa lagi pusing! Kamu juga Hen, kamu nggak bisa ngalah sama adikmu?? Inget Hen, kamu udah SMP!! Masak masih kayak anak TK sifatmu itu?!!”, kata mama menasehati kedua adikku itu.
Terkadang sikap adikku membuatku bingung. Mereka sering bertengkar, tapi kalau tidak berkumpul satu hari saja, nggak Hendri, nggak Billy bakal saling kangen. Malah mereka berdua saling cari, aneh kan??. Yah itulah kenyataan.
Billy baru saja tiba di rumah, tapi mukanya terlihat sedih. Nggak pernah aku melihat Billy sesedih ini, “Kamu kenapa Bil??”, tanyaku.
“Ce.. aku diolok sama temen-temenku. Katanya mulutku bau.”, jawabnya lesu. Aku nggak habis pikir, kok bisa temannya bilang seperti itu, kubuktikan sendiri saja. Kubau mulutnya dan ternyata hoeeek.. beneran bau banget. “Kamu nggak gosok gigi??”, tanyaku sambil menutup hidung. “Gosok gigilah. Tanya papa kalau cece nggak percaya.”, jawabnya.
Sorenya, papa tanya semuanya ke Billy. Akhirnya Billy mengaku kalau dia jarang gosok gigi gara-gara dia takut. “Kamu takut apa??”, tanya papa. “Aku ditinggal sendiri di belakang, nggak ada yang nemeni aku.”, jawab Billy malu-malu. “Kamu kok takut to?? Kan pagi, kok bisa takut??”, tanyaku. Billy diam saja, “Ya sudah, mulai besok gosok gigi ya!”, kata papa.
Besok paginya, Billy benar-benar gosok gigi, aku senang melihatnya jadi adikku ini nggak bakal diolok lagi sama teman-temannya. Selesai mandi Billy menghampiriku, “Ce.. Mak lampir tu kayak apa se??”, tanyanya. “Lha kamu ada apa tanya tentang mak lampir??”, tanyaku geli melihat tingkah laku Billy.
“Katanya koko, ada mak lampir.”, jawabnya. Aku berpikir sejenak, pasti Billy jadi penakut gara-gara ditakuti sama Hendri. Aku langsung menyidang Hendri, “Hen, kamu itu lho nggak bisa ngajari adikmu jadi cowok yang gagah??”, cecarku. “Kan salahnya Billy ce kalau dia penakut?? Bukan salahku kalau dia jadi banci kayak gitu.”, jawabnya sinis. Aku benar-benar marah sama Billy, dia sama sekali nggak sopan! Aku pergi meninggalkannya begitu saja.
Aku benar-benar nggak nyangka kalau Hendri nggak sopan sama aku, kakaknya. Aku merenung sejenak , aku pikir Hendri masih bisa diajak bicara baik-baik. Kuputuskan nanti saja aku ajak dia bicara lagi.
Sore harinya papaku yang aku lihat baru saja datang dari kerja, memanggilku untuk mengambilkan minum. Saat aku di belakang, aku lihat Hendri dan Billy bertengkar hebat sampai mulut Billy berdarah dan di sebelah. Aku langsung melerai mereka, tanganku tak lepas dari pukulan kedua adikku itu, wajahku, kaki, bahkan dadaku sampai sesak gara-gara kena pukulan mereka. Karena terlalu emosinya aku, sampai aku balas pukul mereka.
“Ada apa!!!! Ada apa kok berhenti?? Capek?? Takut tak pukul lagi?? Kalian itu lho nggak bisa rukun to???”, bentakku. Ya.. saat itu aku benar-benar marah, aku hanya bisa memanddang mereka berdua dengan tatapan marah dan meninggalkan mereka berdua. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya, tapi sesedih apapun aku melihat tingkah laku adikku aku tidak bisa menangis.
Di sekolah aku dijadikan panitia paskah, dan tentunya aku harus “wira-wiri”, berhubung aku belum berani naik sepeda motor jadi aku mengandalkan temanku. Mama dan papaku mengizinkan aku dibonceng temanku, Hendri yang mengetahui hal itu langsung marah-marah.
“Cece kok b oleh dibonceng temannya?? Aku kok nggak boleh?? Nggak adil!! Cece mbencekne!!! Cece mesti!!!”, Hendri langsung meninggalkan aku, papa dan mama di ruang tamu. Aku tahu dia pasti marah karena merasa tidak adil, tapi alas an papa dan mama kan bisa diterima kenapa dia nggak boleh boncengan dengan temannya karena temannya belum bisa berhati-hati. Saat aku menyusulnya tiba-tiba saja aku dipukulnya hingga aku terjatuh, aku didorongnya. Aku kaget dan saat aku melihatnya, ternyata dia menangis.
Aku ingin mennenangkannya, tapi aku takut kalau nantinya aku malah dipukul lagi. Aku biarkan Hendri merenungkan apa yang dinasehati papa dan mama.
Keesokan harinya, aku tidak bisa fokus pelajaran di sekolah, aku tidak nyambung kalau diajak bicara, semua pikiranku hanya tertuju ke Hendri. Hendri, Hendri dan Hendri. Padahal hari itu juga aku harus betanding basket. Saat pertandingan basket dimulai, aku tidak bisa konsentrasi di permainan, pikiranku hanya tertuju ke Hendri. Tiba-tiba.. Bukk!!! Kepalaku terasa pusing dan aku merasakan hawa dingin yang menusuk tiap tulang-tulangku. Lapangan basket tidak lagi keras, tapi empuk bagaika kasur mahal. Teriakan penonton yang ramai tidak lagi terdengar riuh, yang ku dengar hanyalah alunan lagu gereja yang indah. Pandanganku tidak hitam seperti orang pingsan yang semuanya tiba-tuba menjdai gelap. Pandanganku piutih yang cerah sekali, tak ada satu pun titik gelap.
Aku meraba sekitarku, badanku, dan.. Hah??!! Apa yang terjadi?? Kepalaku terasa berat sekali, sakit, perih. Perlahan aku membuka mataku dan melihat papa yang terlihat tegang. Tersirat di muka papa kalau dia sangat ketakutan. Mama yang mukanya pucat pasi duduk di sebelahku dan ah.. siapa yang memegang tanganku kuat sekali?? Aku ingin menoleh, tapi auwh!!! Kepalaku tak bisa di gerakkan melirik pun jangkauan mataku tak sampai.
Kukumpulkan senua tenagaku yang adda untuk sadarkan diri sepenuhnya, ternyata wajah papa tak hanya tegang, matanya pun sembab, mama juga, tak hanya pucat pasi, matanya sayu karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
“ma.. ada apa ini?? kok kepalaku diperban kayak gini??”, tanyaku sambil meringis kesakitan. “Mela?? Kamu sadar nik??”, mama berdiri dan langsung memelukku, papa yang dari tadi diam di pojok ruangan langsung menghampiriku dan mencium keningku, dan oh siapa yang memegang tanganku ini?? Ya Tuhan?? Benarkah ini?? Hendri, Billy dan Lili, mereka bertiga menggenggam tanganku dengan bercucuran air mata sambil berkata “aku sayang cece, cece cepet sembuh..”.
Aku tak kuasa menahan air mata, biarpun tanganku sakit, biarpun kepalaku masih sakit, badanku sakit, aku tak peduli, aku memeluk adikku tercinta, memeluk mereka erat, mencium mereka satu-satu. Air mataku mengalir deras, bukan, bukan air mata marah atau sedih. Ini air mata yang telah lama aku simpan untuk menangisi kejadian hari ini, ya dimana adikku memelukku dan mengatakan cinta padaku.
“Ce.. Hendri minta maaf ya. Hiks.. Hendri salah sama cece, Hendri jahat sama cece, cepet sembuh ya, nti main basket lagi sama aku”, Hendri menggenggam tanganku erat sambil menangis, aku hanya bisa menangguk dan menangis, Billy dan Lili, mereka menangis dan menangis, keetiga adikku memelukku erat. Dalam hati aku berjanji aku tidak akan pernah meninggalkan mereka dalam keadaan apa pun, aku berjanji aku akan menjaga mereka semampuku. Sungguh, aku tak menyesal harus bersakit-sakit ria, karena dengan lukaku ini aku bisa mengetahui, betapa adikku, papa dan mamaku sangat mengasihiku. “Ma.. aku kena apa sih waktu pertandingan??”, tanyaku ke mama. “Kepalamu kena bola, trus kejatuhan kayu yang nggak tahu asalnya dari mana. Trus kamu pingsan, kepalamu berdarah-darah belum lagi kakimu juga kena kayu tanganmu juga memar kena kayu, waktu kamu dibawa ke rumah sakit kamu manggil-manggil nama Hendri, Billy sama Lili. 2 hari kamu nggak sadar, adikmu pada nangis semua, mereka nggak mau pulang dan nggak mau sekolah, katanya pengin nunggui kami di sini” kata mama. Aku tersenyum, tahu?? Aku benar-benar bahagia, ternyata adik-adikku benar-benar menyayangiku dan biarpun mereka sering bertengkar, aku yakin mereka saling menyayangi satu sama lain.
Hal yang terpenting sekarang, aku menyayangi adikku dan aku berjanji aku akan menjaga mereka. Aku percaya suatu hari nanti mereka akan berubah, menjadi lebih baik. Aku bersyukur pada Tuhan, karena aku mempunyai adik lucu seperti mereka, Tuhan berkati kalian semua.


MEDIANA C.S.P.D
X-C
18

0 Komentar