Menggugat Relativitas Kebenaran Agama





(REPOST DARI DI FACEBOOK) oleh Al-Wasathiyah Quranic Study Club 



Sebuah slogan usang kaum relativis masih nyaring bergaung. “All is Relative,” begitu mereka berteriak lantang. Tak ada kebenaran dari manusia yang mutlak hakiki, semua hanyalah kebenaran subjektif yang nisbi, relatif tergantung kepada siapa yang mengatakan. Kebenaran yang absolute hanyalah milik Tuhan, dan manusia tidak akan pernah menjangkaunya. Benar menurut anda belum tentu benar menurut saya, karena kebenaran yang anda akui tidaklah absolute.

Merasa benar seakan makruh dan merasa benar sendiri dianggap haram. Tragisnya, slogan seperti ini bukan lagi hanya berkutat pada ranah pemikiran, tapi sudah merambah ke ranah lainnya, bahkan dunia infortaimen. Para artis negeri ini pun menikmati slogan ini, dengan lantang mereka berteriak: “Semuanya itu benar dan harus dihormati”. Yang membuka aurat benar, yang mencuri benar, bahkan yang membunuh pun mungkin mereka anggap benar. (Hamid Fahmy, Islamia 2007).

Menurut Hamid Fahmy, pada mulanya pemikiran seperti ini hanya berkaitan dengan masalah ontology (ilmu tentang wujud). Yang absolute (wajibul wujud) hanyalah Tuhan, selain Tuhan adalah relative (mumkinul wujud). Namun ternyata pemikiran ini kemudian dibawa ke persoalan epistemologi. Kebenaran yang mutlak hanyalah Tuhan dan milik Tuhan, semua yang berasal dari manusia adalah relative dan subjektif parsial kontekstual, sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Termasuk al-Qur’an dan al Hadits.

Al-Qur’an dan al-Hadits pun menjadi objek serangan mereka. Mereka menyerang dengan mengatakan bahwa semua itu sudah terkontaminasi oleh pemikiran manusia yang relative dan dipengaruhi oleh subjektivitas penulis teks dan kontek historis. Al qur’an dan Al Hadits bagi mereka sudah tidak orisinil. Tidak otentik. Melainkan telah mengalami copy-editing oleh para sahabat, tabiin, qurra, penguasa dan mesin cetak, dan penafsirannya pun dipengaruhi oleh pribadi seorang mufassir, kondisi setempat dan tekanan politik, sehingga dianggap perlu untuk dikritisi, diotak-atik bahkan ditafsirkan semau mereka. Bagi meraka kebenaran yang final adalah kebenaran wahyu, tetapi tafsiran terhadap wahyu itu selamanya nisbi, dan orang yang memutlakkan penafsirannya, berarti ia telah mengambil alih otoritas Tuhan, yang artinya sejajar dengan syirik, menyamakan dirinya dengan Tuhan.

Pemikiran seperti ini tentu berakibat pada penafiyan kebenaran Islam dan ajaran ajaranya yang absolute. Sehingga mengakibatkan keraguan dalam keyakinan (iman) seorang muslim terhadap agamanya sendiri, karena sejatinya al-Qur’an dan as Sunnah adalah pedoman utama bagi mereka. Ketika al-Qur’an dan as Sunnah sudah dianggap tidak benar, maka hal apalagi yang bisa dibenarkan?

Sekilas pemikiran seperti ini memang terdengar enak dan masuk akal, tapi sebenarnya membingungkan, kontradiktif dan sangat naïf. Ketika mereka menyatakan semua pemikiran manusia adalah relative dan parsial kontekstual sebenarnya ucapan mereka itu sudah memutlakkan, padahal mereka mengatakan semua adalah relatif. Jadi perkataan mereka juga relatif dan tidak absolute, sehingga tidak bisa dijadikan pedoman karena kebenarannya tidak pasti. Kalaupun pemikiran seperti ini benar, maka sebenarnya ia telah meruntuhkan argumennya sendiri. 

Kalau kita teliti lebih jauh, pemikiran seperti ini tidak berbeda dengan madzhab as-syak, salah satu aliran filsafat yang mengingkari adanya ma’rifah. Pemikiran yang disebarkan oleh kaum sofis pada masa Yunani ini telah menjadi sebuah tragedi pemikiran dan menimbulkan pertentangan dari banyak filosof, seperti Socrates, Plato, sampai al-Ghazali. Menurut Imam al-Ghazali, pemikiran seperti ini sebenarnya telah menentang dirinya sendiri. Mereka menganggap tidak ada
kebenaran yang mutlak padahal mereka telah menggangap pemikiran meraka adalah kebenaran yang mutlak.

Selain bertentangan dengan akal, karena menimbulkan kerancuan berfikir, pemikiran seperti ini sudah pasti bertentangan firman Allah. Allah sendiri telah menegaskan bahwa wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah kebenaran yang absolute dari-Nya, “Kebenaran itu dari Tuhanmu”. Dari Tuhanmu, berarti bahwa kebenaran itu telah diturunkan oleh Allah kepada kita, dan ada di tengah-tengah kita. Ia juga tidak tercapuri sedikitpun oleh hawa nafsu dan keinginan Nabi Muhammad. “Tidaklah dia (Muhammad) mengatakan menurut hawa nafsu nya, melainkan atas wahyu yang diturunkan kepadanya”. Dan Allah telah menjaga wahyu yang diturunkan itu dari penyelewengan dan capur tangan manusia. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan az zikra dan sesungguhya kami akan selalu menjaganya.”

Dalam ranah fiqh, paham seperti ini memang pernah ada, dan sampai sekarang pun masih diakui keberadaannya. Perkataan Imam as-Syafi’i adalah buktinya. Dia mengatakan, “Pendapat kita adalah benar tetapi bisa jadi salah, dan pendapat orang lain adalah salah, tetapi bisa jadi benar”. Tapi yang perlu digarisbwahi adalah bahwa konsep ini bukan untuk hal-hal yang fundamental, ushuli, melainkan hanya berlaku pada tataran furu’iyyah. Dalam masalah furuiyyah yang dicari bukanlah antara yang benar dan salah, tetapi antara yang benar dan paling benar, karena kesemuanya adalah benar. Ini tidak lain karena kesemuanya mengacu pada al-Qur’an dan as Sunnah, dan masih dalam koridor ajaran Islam, sehinggas perbedanya dianggap sebuah keragaman bukan pertentangan.

Hal ini tentu berbeda dalam hal ushuliyyah. Dalam tataran ushuliyyah umat islam tidak pernah mengenal perbedaaan. Dari ujung timur sampai barat seorang muslim sepakat bahwa Tuhan meraka adalah Allah, nabi mereka adalah Muhammad. Semuanya shalat menghadap kiblat yang satu, berberpuasa wajib di bulan Ramadhan, berhari Raya Idul Fithri pada 1 Syawwal dan ber-Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Perbedaan dalam hal bukan dianggap keragaman, tapi menjdi sebuah pertentangan, dan keluar dari Islam.

Umat Islam dari dulu sampai saat ini juga mengakui kebenaran Islam yang mutlak dan final. Islam adalah satu-satunya pintu syurga itu sendiri, bukan salah satu dari pintu syuga, sehinnga ia bersifat eksklusif karena ia adalah satu-satunya jalan menuju keridhaan Allah. “Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imron:19)”. “Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85).

Ketika kita mengakui kemutlakan Tuhan, maka seharusnya kita juga mengakui kemutlakan kebenaran yang datang dari-Nya. Kebenaran itu memang melewati beragam ruang dan waktu serta pemikiran manusia. Namun penjagaan Tuhan terhadap kebenaran itu adalah jaminan mutu terhadap keontetikan dan keabsolutannya. Seorang yang tidak mengakui kemutlakan kebenaran itu berarti juga tidak mengakui kemutlakan sumber dari kebenaran itu, atau bahkan tidak mengakui adanya sumber kebenaran itu. 




0 Komentar