hidupmu lebih indah daripada aku



Hidupmu Lebih Indah Daripada Aku
Kemiskinan ini membuat aku menjadi bingung, membuat aku bertanya kepada langit, kepada matahari, bulan, bintang serta embun di pagi hari “Siapakah aku sebenarnya??mengapa aku hidup seperti ini????” tanya ku sambil menuntun sepeda anginku yang kini telah usang dengan beberapa tas yang aku gantungkan di belakang sepeda, dan kesepian kini mulai menghampiriku......Aku hanyalah seorang gadis kecil, yang hidup penuh perjuangan, pengharapan, cacimaki, dan penuh kebodohan. Seorang pemain sirkus cilik jalanan yang hanya handal memainkan kelenturan tubuh dan trik – trik palsu srta hanya meminta belas kasihan kepada para penonton yang mengerubutiku dan tidak pernah merasakan bangku sekolah. Seorang gadis cilik ingusan Marti yah......itulah nama ku Marti Aminah tepatnya.
****
Pagi ini suhu di sekitar rumah sangat dingin, bagaimana tidak dingin, rumah ku hanya terbuat dari anyaman bambu yang di bagian bawahnya berlubang dan sekarang sebagai sarang tikus - tikus nakal, gubug yang sekarang kelihatannya sudah rentan dan jika hujan badai datang mungkin tinggal roboh saja, serta genting – genting yang mulai lapuk termakan usia. Hari ini aku harus menyiapkan sarapan di dapur, dengan bertemankan kayu – kayu kering serta bersiap untuk bergelut bersama asap – asap yang beraroma sengak sekali......Wuffffhhhh........ berat sekali hidup ini. Hari ini Bapak tidurnya sangat nyenyak sekali, matahari sudah muncul dan ayam Pak Kosim tetangga ku sudah berkokok, namun Bapak masih belum bangun, aku datang menuju kamarnya dan mulai membuka kelambu berwarna merah yang kainnya penuh lubang.
“Sepertinya Bapak sangat lelah sekali.” gunamku dalam hati.
Aku tak tega membangunkan Bapak yang sudah mulai beruban, dan mulai keriput. Di gubug tua ini hanya aku dan Bapak yang tinggal karena Emak kini sudah bahagia di surga. Ia meninggalkan aku bersama Bapaku karena suatu tragedi kecelakaan yang harus memisahkan aku dengan Emak ku. Yah......waktu itu, 5 tahun yang lalu tepatnya, saat aku masih berusia 6 tahun, hingga saat ini aku masih ingat betul tragedi itu, tragedi yang membuat bekas trauma mendalam bagi ku dan membuat Bapak ku harus kehilangan kaki kirinya. Waktu itu pagi – pagi benar ketika Bapak mempunyai rezeki lebih karena bapak baru menerima uang tambahan dari usaha mengumpulkan sampah plastik dan menjualnya di tempat rosokan, dan hingga kini meskipun Bapak hanya memiliki satu kaki kanan, ia tetap gigih untuk mengais – ngais sampah. Saat itu Bapak mempunyai rencana untuk mendaftarkan aku sekolah di SD di kota, dengan semangatnya aku ikut dan kami bertiga berboncengan dengan sepeda angin tua , aku duduk di depan dengan kursi kecil dan dengan kakiku yang terikat oleh tali rafia, sedangkan Emak duduk di belakang, Kita sangat senang sekali karena jarang sekali kita jalan – jalan bersama apalagi ke kota wah......merupakan kejutan yang sangat spesial sekali.
“Bapak nanti jika sudah selesai dan pulang kerumah jangan lupa untuk belikan aku kembang gula ya.....!!!” pintaku dengan nada sedikit genit.
Emak yang sedang duduk di belakang hanya tersenyum karena melihat tingkahku yang genit itu. Jalan menuju sekolah sangat menanjak dan mengharuskan Emak untuk turun terlebih dahulu karena Bapak tidak kuat untuk mengngendarai sepeda, ketika di ujung tanjakan Bapak menyuruh Emak untuk duduk kembali. Aku melihat keringat Bapak yang sebesar biji jaagung yang biasanya di selepkan Emak untuk sarapan kita setiap pagi
“Bapak......Bapak tidak capek kan????” tanyaku sambil menolehkan kepala ku ke arah muka Bapak.” Tidak Ti tenang saja, Bapak masih kuat.” kata Bapak dengan nada semangat.
Di belakang aku melihat Emak yang hanya duduk diam dan hanya tersenyum saja. Ketika sepeda mulai diluncurkan, speda yang kita naiki melaju dengan cepat sekali, hingga membuat rambutku terangkat – angkat, namun nahas rem sepeda angin yang aku naiki bersama orang tua ku remnya tidak berfungsi, Bapak menyuruh Emak dan aku pegangan dengan erat – erat
“Emak, Ti pegangan erat – erat..........remnya mati.......!!!!” teriak Bapak
Aku melihat ada lubang di jalan, dan Bapak tidak bisa menghindari lubang itu, kami bertiga terpental, Bapak dan Emak terpental ke sebrang jalan aku tersungkur di semak – semak dengan sepedaku karena kaki ku yang terikat, namun nahas di seberang jalan ada mobil pengangkut sayur yang sedang melaju kencang kearah Bapak dan Emak...............
”Huffff cukup.......cukup itu saja.......cukup!!!” gunamku dalam hati, sekarang aku tidak mau memikirkan kejadian itu kembali, aku harus melupakan dan sekarang aku harus, memasak di dapur”Lupakan........Lupakan!!!!!” kataku. Setelah itu aku pergi ke kota untuk mengadakan atraksi seperti biasanya.
****
Pagi ini sepertinya embun belum beranjak dari tempat tidurnya, aku melihat dedaunan yang masih basah terkena embun, Dan kabut masih menyelimuti. Aku harus patut bersyukur kepada Tuhan karena aku masih di beri kesempatan hidup di desa yang masih alami, rindang karena desa ku berada di pinggir hutan, dan jika aku harus pergi ke kota untuk mengadakan pertunjukan aku harus melewati jurang yang lumayan dalam dengan melewati jembatan gantung, sambil menuntun sepeda ku dan beberapa tas untuk pertunjukan nanti. Aku baru saja bisa menaiki sepeda angin ini, karena bantuan Bapak aku bisa menaiki sepeda ini, meskipun Bapak ku cacat dan penuh penderitaan, cacimaki, ia tetap tangguh untuk melindungi ku, mengajari ku berbagai hal dan aku sangat bangga kepada Bapak ku ini. Penghasilan ku tiap hari tak menentu, namun juga tak begitu banyak dan mencukupi kebutuhan sehari – hari ku bersama Bapak. Setip hari aku harus melewati jalan yang penuh liku, tanjakan, bergelombang dan cuaca yang tidak bersahabat. Saat di tengah jalan aku berpapasan dengan anak – anak sebaya ku, mereka mengenakan seragam, sepatu mengkilat, serta tas yang bagus, mereka sangat ceria sekali, merasakan keindahan hidup mereka. Sedangkan aku......???memakai sendal jepit, baju yang usang dan menurutku apa yang aku kenakan sekarang kuno sekali.
“Senag sekali mereka..........andaikan aku menjadi mereka......betapa bangganya aku!!!”gerutuku. Aku harus cepat ke kota karena hari sudah beranjak siang dan orang-orang kota pasti sudah memuali aktifitas dan aku harus cepat mementaskan aksi ku.
****
Hari ini sudah sore aku harus bergegas pulang, mungkin Bapak juga sudah pulang dan dan seperti biasa setiap sore Bapak menunggu ku di beranda rumah. Tampak dari kejauhan aku melihat sosok lelaki gagah, namun syang ia hanya memiliki satu kaki........yah.......itulah Bapak ku. Aku melihat ia sedang menunggu di depan gubug yang sudah reot, sambil memisahkan plastik – plastik bekas botol minuman.
“Wah Ti kamu sudah pulang nak??? Bapak sudah memasakkan, sekarang mandilah dan cepatlah makan , mungkin engkau sudah lapar sekali.” kata Bapak. “Wah kebetulan sekali Pak....perutku sudah lapar sekali!!!” teriak ku sambil kegirangan. Perut yang sudah kenyang karena masakan Bapak, ditambah dengan malam yang sangat dingin. Sekarang di luar sana sedang hujan deras, suara gemricik air yang tak beraturan menggetar – getarkan gendang telinga ku dan seakan menyuruhku untuk tidur,dan akhirnya aku terlelap dalam tidur.
Pagi ini aku tidak bekerja, hawanya masih digin karena guyuran hujan kemarin,karena tidak bekerja aku ingin bermain ke hutan dan ada suatu tempat yang indah yang ingin aku kunjungi, aku telah lama tidak ke sana. Disana aku dapat melihat pemandangan kota yang tampak dari atas, pagi ini Bapak akan berangkat kerja mengais sampah,aku bergegas meminta izin ke Bapak.
“Bapak aku izin hari ini tidak bekerja, dan sekrang Murti mau pergi ke tempat biasanya di hutan.” kataku sambil dengan nada memelas. Aku sangat pandai sekali untuk merayu hati Bapak ku, dan Bapak juga setuju – setuju saja “ Ok jika kamu capek tidak apalah, namun hati hati Ti...!!” kata bapak sambil memakaikan peci besek di kepalanya. Aku angkat keranjang sampah yang berukuran besar, aku pakaikan saja ke tubuh Bapak.
“ Bagaimana tidak, setiap malam Bapak mengeluh pinggangnya sakit, keranjang sampah yang kosongan saja sudah berat, bagaimana jika nanti sudah ada isinya banyak?” kataku sambil terheran. Aku semakin tidak tega melihat bapakku yang sudah mulai tua, tubuhnya yang tinggal tulang dengan sedikit daging yang menempel serta berbalutkan kulit tipsi yang sudah keriput.
”Ti, Bapak berangkat dulu hati – hati.” Kata bapak. “ Iya....Bapak juga hati – hati .” teriak ku. Aku tak tega membiarkan Bapak berjalan sendiri sambil memakai alat bantu berjalan yang hanya terbuat dari kayu pohon Agathis , Bapak berjalan sepertinya kesulitan ditambah dengan keranjang yang harus ia bawa.
Aku juga segera bergegas pergi ke tempat yang akan aku tuju, di sana aku melihat indahnya kota yang tampak samar – samar karena tertutup dengan kabut tipis, kicauan burung terdengar bersahutan, aku berkata – kata sendiri, aku mulai sedih merasakan perjalannan hidupku yang seperti ini, selalu kesepian dan.......Aku berteriak sekuat tenaga, mencurahkan apa yang sedang aku alami, sebenarnya aku tidak bekerja hari ini karena aku sudah lelah sekali, aku lelah menjadi orang miskin, aku benci dengan orang – orang yang tidak menghargai hidupnya aku benci sekali aku benci karena aku tak mau hidup terus miskin dan aku ingin hidup seperti mereka, “Jika kamu pikir kamu sengsara bagaimana dengan aku?,jika kamu pikir pekerjaan kamu berat bagaimana dengan aku?,jika kamu merasa belajar itu susah bagai mana dengan aku?, jika kamu pikir kamu tida punya teman banyak bagaimana dengan aku? Jika kamu menderita apakah kamu semenderita aku? Jika kamu mengeluh soal transportasi, bagaimana dengan aku?, jika kamu merasa ingin menyerah, mengapa kamu tak memeikirkan aku dan Bapak ku?” teriak ku sambil meneteskan air mata sesambil mengusap ingus ku yang keluar , aku duduk sambil bersandar di bawah pohon Pinus merkusii. Tidak terasa hari sudah menjelang malam, aku terus meneteskan air mataku, namun tiba – tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang” Mengapa kamu menangis..........................??????????”


Karya Tri Cahyo Dirgahariyawan/X-C/32

1 Komentar

  1. wahhhh cerpenku ini....hahaahahahaah.thenkyou adit......

    BalasHapus