Heliosentris / Geosentris?





Jika kita belajar sejak dari Sekolah Dasar telah mengajarkan mungkin yang kita peroleh, bahwasannya teori mengenai Heliosentris adalah hal yang benar bila dibandingkan dengan teori Geosentris. 
Geosentris dipopulerkan oleh seorang ilmuwan Yunani bernama Ptolemy.  Teori inilah yang dulu dipercayai oleh orang-orang Yunani kuno. Semenjak berkembangnya teropong bintang oleh Galilleo, munculah sebuah teori baru yakni Heliosentris. Yang dipopulerkan oleh Copernicus (ilmuwan Eropa).  Teori ini bertahan hingga sekarang karena semakin jelasnya bukti-bukti bahwasannya bumi berputar mengelilingi matahari atau matahari sebagai pusat dari tata surya.  Selain itu hasil penelitian dari ilmuwan dunia dengan berbagai metode yang luar biasa beserta alat-alat yang canggih serta adanya sebuah perjalanan luar angkasa, tidaklah meruntuhkan teori Heliosentris ini.
Tetapi ada sebuah keinginan membahas teori tentang penciptaan alam raya ini dalam agama, yang kebenarannya mutlak karena bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist yang merupakan firman dari Allah azza' wajalla.   Berawal dari membaca buku di perpus dekat masjid di SMU tercinta, terdapat buku yang membahas tentang bahwasannya Bumi itu sebagai pusat dari alam semesta, atau bisa berarti Geosentris, setalah itu timbullah pertanyaan-pertanyaan yang sampai sekarang belum bisa yakin dalam menjawabnya.
Hal ini dikarenakan sudah tertanam bahwa teori Helisentris bahwa matahari sebagai pusat dari tata surya, serta berbagai logika dari sebuah keterbatasan otak ini pun senada.

Untuk kejelasannya silahkan kunjungi

http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/06/27/download-audio-matahari-mengelilingi-bumi-ustadz-ahmad-sabiq-abu-yusufpenting/

disana terdapat ceramah-ceramah yang membahas masalah tersebut.

Sedangkan penjelasan dari Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin

http://artikelassunnah.blogspot.com/2009/10/apakah-matahari-berputar-mengelilingi.html 

Semua tergantung dari mana Anda meyakininya, jujur q juga masih bingung :D 
tetapi ada hal yang terpenting yakni:

Pertama
Kita harus meyakini bahwa pada hakekatnya tidak akan pernah terjadi kontradiksi antara ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyyah (fakta ilmiah/hukum alam) dan ayat-ayat Allah yang bersifat wahyu/qauliyyah, sebab keduanya sama-sama berasal dari Allah. 
 

Pemahaman yang benar terhadap nash-nash wahyu (al-Qur`ān dan Sunnah) pasti akan sejalan dengan teori ilmiah yang benar. Kontradiksi hanyalah terjadi ketika terjadi kesalahan dalam memahami/menafsirkan nash-nash wahyu atau teori/fakta ilmiah atau keduanya sekaligus.

Kedua: 
Ucapan Salaf secara personal/individual/perorangan bukanlah hujjah. Ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan ucapan Sahabat (hujjiyyah qaul ash-shahābi), namun mereka sepakat bahwa ucapan Tabi’in dan generasi setelah mereka secara personal bukanlah hujjah. Hujjah hanya terdapat pada ijmā’ (konsensus) mereka.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua klaim atau nukilan ijmā’ itu benar adanya. Berapa banyak klaim ijma’ yang setelah diteliti ternyata tidak benar. Karena itu, klaim ijmā‘ perlu diteliti kembali tingkat kekuratan dan kebenarannya. Hal ini selaras dengan ucapan Imam Ahmad: Man idda’al ijma’ fa qad kadzab, wa ma yudrihi la’allan nas qad ikhtalafu (Barangsiapa yg mengklaim ijma’ maka sungguh ia telah berdusta. Darimana ia mengetahui bahwa telah terjadi ijma’, sementara bisa jadi manusia telah berselisih pendapat).

Ketiga: 
Dua perkara yg sudah sampai tingkatan qath’i (pasti) tidak mungkin akan saling bertentangan. Apabila terjadi kontradiksi antara qath’i dan zhanni (mengandung kemungkinan) maka perkara yang zhanni dibawa kepada yg qath’i (di-ta`wīl-kan), baik berupa dalil akal (fakta ilmiah) maupun dalil nash.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah berkata: “Tidak mungkin pada kabar yg dibawa Rasul shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam terdapat hal yg bertentangan dengan akal sehat (sharīh al-’uqūl). Serta tidak mungkin terdapat dua dalil qath’i yang bertentangan, baik keduanya adalah dalil ‘aqli (termasuk fakta ilmiah, pent), atau keduanya adalah dalil sam’i (al-Qur`ān dan Sunnah), atau salah satunya dalil ‘aqli dan yang lain adalah dalil sam’i.” (Majmū’ al-Fatāwa, vol. XI, hal. 244).

Hanya saja, penting untuk diingat bahwa hal-hal yang ditangkap oleh pancaindera pun tidak selalu mencapai derajat qath’i (pasti benar). Misalnya, apabila kita celupkan pensil ke dalam gelas berisi air, terlihat oleh kita bahwa pensil tersebut patah. Namun, apakah pensil itu benar-benar patah? Jawabnya tentu tidak. Begitu pula dengan peristiwa fatamorgana di padang pasir atau permukaan aspal yang tampak berair ketika panas terik di siang hari. Jika sesuatu yang ditangkap oleh pancaindera saja belum tentu mencapai derajat qath’i maka apatah lagi dengan sebatas hipotesa, teori atau asumsi? Tentu lebih utama lagi untuk diragukan kebenarannya.

Keempat: Pada umumnya teori ilmiah hanyalah sampai kepada tingkatan zhanni, begitu pula dengan penafsiran terhadap nash-nash wahyu. Meskipun tidak dipungkiri bahwa terdapat sebagian teori ilmiah dan penafsiran terhadap nash-nash wahyu yang bersifat qath’i.

Tentu tidak samar bagi kita bahwa pada umumnya teori ilmiah itu bersifat dinamis, senantiasa berubah dari waktu ke waktu, sesuai tingkat perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Misalnya, dahulu teori big bang terkait asal mula penciptaan alam semesta tidak populer. Bahkan, untuk sekian lama ilmuan kita dahulu menganggap bahwa Pluto adalah salah satu planet dalam tata surya kita, namun sekarang disanggah, bahwa Pluto hanyalah satelit dan bukan planet. Ini hanyalah contoh yang sangat sederhana, dan contoh yang semisal ini sangatlah banyak.

Wallahualam,,,







0 Komentar