Kugenggam Taqwa di Tengah Bara

      



    Mukanya kini basah dengan peluh untuk keluarganya. Bukan lagi karena hembusan rokok yang membara. Ibarat emas di dasar lumpur, kemudian dipahat menjadi cincin yang indah, menjadi sangat berharga. Seperti kehidupannya kini. Muhammad. Nama yang sungguh indah yang diberikan orangtuanya. 

      Semenjak kecil, dia memang anak yang agak bandel dibanding saudara-saudaranya. Pembawaannya yang supel membuatnya memiliki banyak teman, banyak pergaulan. Masa remaja membuatnya menjadi anak yang salah arah. Tergelincir dalam tawa anak muda. Merokok adalah hal biasa padahal ia masih berseragam putih abu-abu. Hari demi hari ia lalui dengan gemerlapnya dunia, indahnya dunia yang fana. Sampai ia mengenal seorang wanita dari sekolah berbeda. Kemudian mereka saling memadu cinta dalam hubungan bernama pacaran. Kuliah pun tetap sama. Masih dengan sikapnya yang seperti itu. Sering begadang sampai bangun kesiangan. 

      Tapi di sisi lain, adiknya, Nana, kerap kali memergoki di kamarnya ada beberapa buku Islami yang ia ambil dari lemari. Kadang Nana juga pernah melihat Muhammad sembab matanya karena menangis. Nana meyakini, jika kakaknya itu tengah menangis karena membaca buku. Sungguh, ada tetesan kesejukan yang Nana rasakan melihat pemandangan seperti itu. Kakaknya yang terlihat arogan, kasar, dan dingin itu ternyata memiliki hati yang begitu lembut. Hati yang telah terisi dengan hidayah.

    Perlahan Muhammad mulai berubah. Sedikit demi sedikit. Yang dulu sering kasar dan bernada tinggi ketika ngomong ke orangtua, sekarang jauh lebih lembut. Puncaknya adalah ketika ia mempersunting pacarnya untuk menjadi istrinya. Dia benar-benar berubah setelah menikah. Dia ajarkan istirnya bagaimana berhijab sesuai sunnah. Dia tinggalkan rokok yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ya, dia benar-benar tidak merokok. Awalnya pasti sulit, tapi ia telah berkomitmen. Sholatnya mulai ia perbaharui, yang dulu sering bolong, sekarang rutin jamaah ke masjid. Celananya mulai ia pendekkan di atas mata kaki, jenggotnya mulai dibiarkan memanjang. Kajian-kajian rutin ia ikuti. Benar-benar kehidupannya berubah.

     Orangtuanya terutama ibunya seperti kejatuhan durian runtuh. Benar-benar hadiah terindah yang Allah karuniakan padanya melihat anaknya yang kini menjelma bagaikan seorang ustadz. Setelah sebelumnya tenggelam dalam kehidupan yang kelam. 

      Kini ia telah dikaruniai dua jagoan yang lucu. Bisnisnya juga semakin berkembang. Semoga hidayah selalu menyertainya dan wafat di atas ketaatan. Aamiin. 

      Nana menulis dalam diary nya untuk Sang Kakak tercinta.


"Kak...

Aku tahu di balik aroganmu ada hati yang begitu putih..

Entah mengapa setiap mengingatmu, ada tetes air mata yang mengalir...

Perjuanganmu tak sia-sia tuk menggapai ridhoNya..

Kehidupan kelammu kau jual demi akhiratmu..

Semenjak perubahanmu, aku jadi tau..

Bahwa tak semua preman itu lebih buruk daripada ustadz..

Aku yang sedari remaja telah mengenal agama,

Tak lebih baik dari dirimu yang baru mendalaminya..

Karena semua amalan bergantung pada akhirnya..

Sering sekali aku dihinggapi ujub dan sombong karena dilabeli anak alim..

Padahal kutahu kau lebih sering menangis karena mengingat dosa_dosamu..

Kak.. ingatkan aku jika aku lalai..

Maafkanlah kesalahan-kesalahanku..

Semoga Allah memberikan kita keistiqomahan di atas alhaqq.. 

Hingga akhir hayat..

Aamiin.."


    Dan merekapun hidup akur di atas naungan Sunnah Rasulillah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari hanya sekedar saudara sekandung. Semoga ALLAH menetapkan hidayah untuk mereka hingga akhir hayat.


0 Komentar