KEMATIAN ITU BEGITU DEKAT


           Indonesiaku tengah berduka. Kesedihan demi kesedihan terasa semakin menyayat hati. Gempa yang tak kunjung berakhir di Lombok, tetiba Tsunami menghantam dan meluluh lantakkan bumi Palu disertai pergerakan tanah yang menelan habis beberapa daerah disana. Tak menyisakan sedikitpun bangunan utuh yang masih layak huni. Hari demi hari bergulir, pun bulan demi bulan, namun masih menyisakan trauma teramat berat bagi warga Indonesiaku, lebih-lebih para korban.

            Ternyata kesedihan itu belum berakhir. Masih sangat hangat kita saksikan berbagai berita di televisi mengenai kabar yang kembali mengundang duka mendalam. Sebuah pesawat mengalami kecelakaan, yang menelan korban hingga 181 jiwa. Pesawat Lion Air tersebut terbang dari Jakarta menuju Pangkal Pinang. Namun naas, ternyata pesawat mengalami trouble sehingga kehilangan kontak. Diketahui kemudian bahwa pesawat jatuh di perairan Karawang Jawa Barat. Lagi-lagi, Indonesiaku menangis. Entah skenario apa yang Allah rencanakan di balik ini semua. Yang pasti, semua apa yang ditakdirkan-Nya mengandung hikmah yang agung bagi manusia.
            Melihat fenomena tersebut, hatiku tercenung. Meratapi diri yang sering lalai dari sang penghancur kenikmatan. Apalagi kalau bukan al-maut? Ya, sesuatu yang paling dekat dan ditakuti manusia, namun mereka enggan bersiap diri untuk menyambutnya. Kita seringkali lalai dan merasa aman dari kematian, seolah akan hidup selamanya dan tak akan pernah menjumpainya. Padahal kematian adalah suatu kepastian yang tak bisa dihindari. Jangankan dihindari, dimajukan atau diundurkan sedetikpun adalah hal yang mustahil. Semua jiwa pasti akan merasakannya. Entah cepat ataupun lambat.
            Berita kematian yang tiba-tiba selalu menjadi pembelajaran bagi manusia lainnya. Termasuk diriku yang selalu terlena dengan kesibukan duniawi. Entah, dunia ini terlalu manis, hingga aku lupa tujuan hidupku diciptakan. Aku membayangkan, jika posisiku saat ini adalah salah satu mayat yang terbujur kaku di tengah reruntuhan puing bangunan atau terapung di atas lautan, apa yang harus kukatakan pada Allah tentang usiaku selama ini? Bagaimana aku mempertanggungjawabkan hidupku kepada-Nya? Batinku menjerit, ketika aku tak memiliki satupun hujjah yang bisa menyelamatkanku dari murka-Nya. Air mata ini tak dapat kubendung saat menyadari bahwa dosaku telah menjulang setinggi angkasa, sedangkan tak ada satupun amalan yang bisa kuandalkan kelak jika bertemu dengan-Nya.
            Aku tak tahu kapan Allah akan memanggilku dan dengan kondisi seperti apa. Namun aku berharap, bila saat itu tiba, aku sudah benar-benar siap untuk menyambutnya, dengan hati yang salim (selamat dari semua kesyirikan dan penyakit hati), dan diridhoi oleh-Nya. Hanya itu harapanku di hari kematianku. Adakah kematian yang lebih indah dari kondisi mencintai dan dicintai oleh-Nya? Ya Rabb, kami meminta kepada-Mu husnul khatimah. Aamiin.

1 Komentar

  1. Jadi mikir, bagaimana kalau aku dijemput dalam keadaan yang belum siap...

    BalasHapus